Monday, January 29, 2007

Mnegenal vegetarian

Vegetarianisme:

Suatu Metode ke arah Pencapaian Yang Lebih Tinggi.

(oleh Adiraja dasa, dari buku The Hare Krishna Book of Vegetarian Cooking)

Kata vegetarian, yang diciptakan oleh para pendiri British Vegetarian Society pada tahun 1842, berasal dari kata Latin ‘vegetus’ yang berarti “semangat, sehat, segar, hidup,” sebagaimana dalam ‘homo vegetus’ – seorang yang penuh semangat secara fisik dan mental. Makna asli kata tersebut secara tidak langsung menyatakan suatu pengertian kehidupan filosofi dan moral yang seimbang, lebih dari hanya sekedar suatu menu sayur-sayuran dan buah-buahan.

Hampir semua vegetarian adalah orang-orang yang telah memahami bahwa dalam memberikan kontribusi terhadap suatu masyarakat yang lebih damai, mula-mula kita harus menyelesaikan permasalahan kekerasan di dalam hati kita. Jadi tidak mengherankan bahwa beribu-ribu orang dengan berbagai statusnya, dalam pencarian mereka akan kebenaran, telah menjadi vegetarian. Vegetarianisme merupakan suatu langkah penting ke arah masyarakat yang lebih baik, dan mereka yang mempertimbangkan keuntungan-keuntungannya akan berada dalam kelompok para pemikir seperti Pytagoras, Socrates, Plato, Clement of Alexandria, Plutarch, King Asoka, Leonardo da Vinci, Montaigne, Akbar, John Milton, Sir Issac Newton, Emanuel Swedenbourg, Voltaire, Benjamin Franklin, Jean Jacques Rousseau, Lamartine, Percy Bysshe Shelley, Ralph Waldo Emerson, Henry David Thoreau, Leo Tolstoy, George Bernard Shaw, Rabindranath Tagore, Mahatma Gandhi, Albert Schweitzer, dan Albert Einstein.

Marilah kita simak beberapa keuntungan menjadi vegetarian.

Kesehatan dan Nutrisi

Dapatkah suatu menu vegetarian memperbaiki atau mengembalikan kesehatan? Dapatkah mencegah penyakit-penyakit tertentu? Para penasihat vegetarianisme telah mengiyakan hal tersebut selama bertahun-tahun, meskipun mereka pada saat itu tidak mempunyai dukungan ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini. Sekarang ini, riset-riset medis telah menemukan bukti tentang suatu hubungan mata-rantai antara menyantap daging dan pembunuh seperti penyakit jantung dan kanker, dengan demikian mereka memberikan pandangan yang lain sehubungan dengan vegetarianisme.

Sejak tahun 1960-an, para ilmuwan telah menduga bahwa suatu menu yang terdiri dari daging bagiamanapun juga berkaitan dengan perkembangan arterioscleroris dan penyakit jantung. Pada awal 1961, Majalah ‘American Medical Association’ mengatakan: “Sembilan puluh sampai sembilan puluh sembilan persen penyakit jantung dapat dicegah dengan diet vegetarian. “ sejak saat itu, studi-studi yang teroganisir dengan baik secara ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa selain tembakau dan alkohol, konsumsi daging adalah penyebab tunggal yang paling utama terhadap kematian di Western Europe, United States, Australia dan daerah-daerah kaya lainnya di dunia.

Tubuh manusia tidak dapat menerima lemak hewani dan kolesterol dalam jumlah yang berlebihan. Suatu pengumpulan suara terhadap 214 ilmuwan yang melalukakan riset pada arteriosclerosis dalam 23 negara menunjukkan hampir semuanya menyetujui bahwa terdapat suatu hubungan mata-rantai antara diet, tingkatan kolesterol serum, dan penyakit jantung. Ketika seseorang mengkonsumsi kolesterol lebih dari lebih dari yang dibutuhkan tubuh (sebagaimana biasanya yang dilakukan terhadap menu yang terdiri dari daging), kolesterol yang berlebihan tersebut perlahan-lahan menyebabkan masalah. Yang mana berakulumasi pada dinding-dinding arteri bagian dalam, menekan aliran darah ke jantung dan menyebabkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan stroke.

Di lain pihak, para ilmuwan di University of Milan dan Maggiore Hospital telah menunjukkan bahwa protein sayur-sayuran dapat berfungsi menjaga tingkat kolesterol menjadi rendah. Dalam suatu laporan kepada majalah medis di Inggris, The Lancet, D.C.R. Sirtori menyimpulkan bahwa orang-orang dengan tipe kolesterol tinggi yang berhubungan dengan penyakit jantung “dapat mengambil keuntungan dari suatu menu dimana protein hanya berasal dari sayur-sayuran.”

Bagaimana dengan kanker? Penelitian selama duapuluh tahun terakhir ini sangat mengindikasikan suatu hubungan mata-rantai antara mengkonsumsi daging dengan kanker usus besar, rektum, payudara dan uterus. Jenis kanker-kanker ini jarang terdapat pada mereka yang mengkonsumsi sedikit daging, seperti halnya para pengikut Gereja Advent, orang Jepang, dan orang India, akan tetapi penyakit-penyakit tersebut lazim terdapat pada masyarakat yang mengkonsumsi daging.

Artikel lainnya dalam The Lancet melaporkan, “Orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah dengan gejala carcinoma (tumor) usus besar yang tercatat tinggi cenderung hidup dari makanan yang banyak mengandung lemak dan protein hewani; sedangkan mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang gejalanya rendah sebagian besar hidup dari makanan vegetarian dengan kadar lemak yang rendah atau bahan hewani.”

Rollo Russel, dalam komentarnya pada ‘Caution of Cancer’ (Peringatan akan Kanker) mengatakan, “Saya telah menemukan bahwa dari duapuluh lima negara yang umumnya mengkonsumsi daging, sembilan belas darinya memiliki tingkat penyakit kanker yang tinggi dan hanya satu negara yang memiliki tingkat yang rendah, dan dari tigapuluh lima negara yang mengkonsumsi daging atau sama sekali tidak, tidak satupun yang memiliki tingkat yang tinggi.”

Mengapa mereka yang menkonsumsi daging nampaknya lebih mudah mendapat penyakit-penyakit tersebut? Satu alasan yang diberikan oleh para ahli biologi dan ahli nutrisi yakni bahwa sistem pencernaan manusia sebetulnya tidak cocok untuk mencerna daging.

Binatang pemakan daging memiliki sistem pencernaan yang pendek (tiga kali panjang tubuhnya), sehingga dengan segera mengeluarkan daging yang cepat busuk yang mana menghasilkan racun dari tubuhnya. Oleh karena makanan dari tumbuhan lebih lambat membusuk dibandingkan dengan daging, pemakan tumbuhan memiliki pencernaan setidaknya enam kali panjang tubuhnya. Dari jenis herbivora, manusia memiliki sistem pencernaan yang (paling?) panjang, sehingga jika mengkonsumsi daging, racun-racun dapat menumpuk berlebihan di ginjal dan menyebabkan encok, artritis, reumatik, dan bahkan kanker.

Dan disamping itu terdapat bahan-bahan kimia yang ditambahkan ke dalam daging. Saat seekor binatang disembelih, dagingnya mulai membusuk, dan setelah beberapa hari menjadi berwarna hijau keabu-abuan dan berpenyakit. Perusahaan daging menutupi perubahan warna tersebut dengan menambahkan nitrite, nitrate, dan pengawet lainnya untuk membuat daging tersebut berwarna merah terang. Akan tetapi riset saat ini telah membuktikan bahwa banyak dari pengawet tersebut mengandung carcinogenic (zat penyebab kanker). Dan yang memperburuk adalah pemberian bahan-bahan kimia dalam jumlah banyak kepada hewan ternak.

Gary dan Steven Null, dalam buku mereka ‘Poison in Your Body’, menunjukkan kepada kita akan sesuatu yang mengharuskan setiap orang berpikir dua kali sebelum membeli ‘steak’ atau ‘ham’. “Binatang yang dipelihara dan digemukkan dengan pemberian obat-obat penenang, hormon, antibiotik, 2,700 jenis obat-obatan lainnya. Bahkan proses tersebut dimulai sebelum kelahiran dan terus berlanjut dalam waktu yang lama setelah kematian.

Meskipun obat-obatan tersebut tetap akan ada di dalam daging ketika anda menyantapnya, undang-undang tidak mengharuskan supaya dituliskan pada bungkusannya.”

Oleh karena temuan-temuan seperti ini, American National Academy of Sciences pada tahun 1983 melaporkan bahwa “Orang dapat mencegah banyak jenis kanker yang umum dengan mengkonsumsi makanan yang kurang mengandung lemak dan lebih banyak mengandung sayur-sayuran dan padi-padian.”

Tetapi tungggu dulu! Tidakkah manusia diciptakan sebagai pemakan daging? Bukankah kita membutuhkan protein hewani?

Jawaban untuk keduanya adalah tidak. Walaupun para sejarawan dan ahli antropologi mengatakan bahwa manusia dalam sejarahnya adalah omnivora, perangkat anatomi kita – gigi, rahang, sistem pencernaan – lebih cocok terhadap makanan bukan daging. American Dietetic Association menyatakan bahwa “Hampir semua umat manusia dalam sejarahnya telah hidup dari makanan vegetarian atau yang menyerupai vegetarian.”

Dan sebagian besar di dunia ini masih hidup dengan cara seperti itu. Bahkan di negara-negara industri terkemuka, kesukaan akan daging berumur tidak lebih dari seratus tahun. Hal ini berawal dengan mobil pendingin dan masyarakat konsumen abad ke-duapuluh.

Tetapi dengan abad ke-duapuluh sekalipun, tubuh manusia belum dapat beradaptasi dengan mengkonsumsi daging. Ilmuwan Swedia terkemukan Karl Von Linne mengatakan, “Struktur manusia, baik eksternal maupun internal, dibandingkan dengan binatang, menunjukkan bahwa makanan dasarnya adalah buah-buahan dan sayuran-sayuran yang padat/berair. Grafik di bawah ini membandingkan anatomi manusia dengan hewan karnivora dan herbivora.

Sehubungan dengan persoalan protein, Dr. Paavo Airola, seorang ahli nutrisi biologi alam, mengatakan: “Rekomendasi resmi sehari-sehari bagi protein telah menurun dari 150 gram yang direkomendasikan duapuluh tahun lalu menjadi hanya 45 gram sekarang ini. Mengapa? Oleh karena riset berskala internasional yang dapat diandalkan telah membuktikan bahwa kita tidak membutuhkan banyak protein, dan bahwa kebutuhan akan protein yang sebenarnya setiap harinya hanya 30 dan 45 gram.

Protein yang dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan untuk kebutuhan sehari-harinya tidak hanya sia-sia, tetapi sebenarnya dapat membahayakan tubuh dan bahkan berkaitan dengan penyakit-penyakit mematikan seperti kanker dan penyakit jantung. Untuk memperoleh 45 gram protein per hari dari menu anda, anda tidak harus menyantap daging; anda dapat memperolehnya dari menu vegetarian seperti bermacam-macam padi-padian, miju-miju, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan buah-buahan.”

Produk-produk susu, padi-padian, buncis, dan kacang-kacangan merupakan sumber-sumber protein yang padat. Keju, kacang tanah, miju-miju, contohnya mengandung lebih banyak protein per ons daripada hamburger, daging babi, atau daging steak.

Meskipun demikian, para ahli nutrisi menganggap hingga baru-baru ini bahwa hanya daging, ikan, telur dan susu yang memiliki protein yang lengkap (yang mana mengandung delapan jenis asam amino yang tidak diproduksi di dalam tubuh), dan bahwa semua protein nabati tidak lengkap (tidak memiliki satu atau lebih dari zat-zat asam amino tersebut). Akan tetapi riset yang dilakukan pada Karolinska Institute di Swedia dan di Max Planck Institute di Jerman telah membuktikan bahwa kebanyakan sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan padi-padian, merupakan sumber-sumber protein yang lengkap. Pada kenyataannya, protein-protein ini lebih mudah dicerna daripada daging – dan lagipula mereka tidak membawa serta racun. Hampir tidak mungkin kekurangan protein jika anda mengkonsumsi makanan alami yang mentah secara cukup. Ingatlah bahwa dunia sayur-sayuran adalah sumber dari semua protein. Para vegetarian mengkonsumsinya ‘secara langsung’ daripada memperolehnya dari ‘pihak ke-dua’ yakni dari hewan pemakan tumbuhan.

Intake protein yang berlebihan bahkan dapat mengurangi energi tubuh. Dalam suatu rangkaian tes daya tahan yang komperatif yang dilaksanakan oleh Dr. Irving Fisher dari Yale University, para vegetarian terbukti dua kali lebih tahan dari mereka yang mengkonsumsi daging. Ketika Dr. Fisher menurunkan konsumsi protein pada mereka yang mamakan daging sebesar duapuluh persen, efisiensi mereka naik sebesar tigapuluh tiga persen. Banyak sekali studi-studi lainnya telah membuktikan bahwa menu vegetarian yang tepat memberikan energi nutrisi yang lebih banyak dari daging. Suatu studi oleh Dr. J. Iotekyo dan V. Kipani pada Brussel University menunjukkan bahwa para vegetarian dapat menunjukkan tes fisik dua sampi tiga kali lebih lama dari para pemakan daging sebelum merasa lelah – dan para vegetarian pulih dari kelelahan tiga kali lebih cepat dari para pemakan daging.

Bidang Ekonomi

Daging memberikan makanan yang sedikit dengan pengeluaran yang banyak. Demi memproduksi daging, padi-padian yang mana dapat menjadi makanan manusia, dijadikan makanan hewan ternak. Menurut informasi yang dihimpun oleh United States Department of Agriculture, lebih dari sembilan puluh persen padi-padian yang diproduksi di Amerika dijadikan makanan hewan ternak – sapi, babi, domba, dan ayam – yang mana semuanya berakhir di meja makan. Sekalipun demikian, proses penggunaan padi-padian untuk memproduksi daging adalah pemborosan besar.

Angka-angka yang diperoleh dari U.S. Department of Agriculture menunjukkan bahwa setiap enambelas pon padi-padian yang diberikan kepada hewan ternak, sebagai gantinya kita hanya mendapatkan satu pon daging.

Dalam ‘Diet for a Small Planet’, Frances Moore Lappe meminta kita untuk membayangkan diri kita duduk menghadapi satu daging steak dengan berat delapan ons. “Kemudian bayangkan dalam ruangan itu terdapat 45 sampai 50 orang dengan piring kosong di hadapan mereka. Sebagai ganti ‘nilai makanan’ dari daging steak tersebut, setiap piring tersebut dapat tersisi penuh dengan sereal yang dimasak.

Negara-negara kaya tidak hanya menyia-nyiakan tanaman padi mereka untuk makanan ternak. Mereka juga menggunakan bahan makanan dari tumbuhan yang kaya protein dari negara-negara miskin. Dr. Georg Borgstrom, seorang ahli tentang geografi makanan, memperkirakan bahwa se-pertiga dari hasil panen kacang di Afrika (kacang memberikan jumlah protein yang sama dengan daging) berakhir di perut-perut hewan ternak dan unggas di Western Europe.

Di negara-negara terbelakang, seseorang mengkonsumsi rata-rata empat ratus pon padi setiap tahunnya, kebanyakan darinya langsung dikonsumsi. Sebaliknya, kata ahli makanan sedunia Lester Brown, rata-rata orang Eropa atau Amerika mengkonsumsi du ribu pon per tahunnya, dengan cara pertama-tama menjadikannya makanan hewan sebanyak hampir sembilan puluh persen yang mana kemudian menjadi daging. Rata-rata pemakan daging di Eropa atau Amerika, kata Brown, menggunakan sumber-sumber makanan lima kali lebih banyak dari rata-rata orang Kolombia, Indian, atau Nigeria.

Fakta-fakta seperti ini telah membimbing para ahli makanan dalam menentukan bahwa permasalahan kelaparan dunia bersifat dibuat-buat. Bahkan sekarang ini kita sudah memproduksi makanan lebih dari cukup untuk semua orang di dunia ini – akan tetapi kita memberikannya dengan sia-sia.

Ahli nutrisi dari Harvard, Jean Mayer, mengkalkulasikan bahwa dengan mengurangi produksi daging hanya sepuluh persen akan menyediakan cukup padi-padian untuk memberikan makan enam puluh juta orang.

Akibat lain dari mengkonsumsi daging yakni degradasi lingkungan. Luapan limbah yang sangat terkontaminasi dari rumah-rumah penjagalan dan peternakan merupakan sumber-sumber polusi bagi sungai-sungai dan aliran-aliran. Semakin jelas bahwa sumber-sumber air segar di planet ini tidak saja terkontaminasi tetapi juga terkuras, dan perusahaan daging sangat boros. Georg Borgstrom mengatakan bahwa produksi hewan ternak menghasilkan polusi sepuluh kali lipat lebih banyak dari wilayah-wilayah pemukiman, dan tiga kali lebih besar dari industri.

Dalam buku mereka berjudul Population, Resources, dan Environment, Paul dan Anne Ehrlich menunjukkan bahwa untuk menanam satu pon gandum hanya dibutuhkan enampuluh pon air, sedangkan produksi satu pon daging membutuhkan sekitar 2,5000 sampai 6,000 pon air.

Dan pada tahun 1973, the New York Post mengungkapkan suatu berita yang menggemparkan tentang penyalah-gunaan sumber alam yang paling berharga ini – salah satu industri pemotongan ayam di Amerika mennggunakan seratus juta galon air per hari, suatu jumlah yang mana dapat mencukupi sebuah kota dengan duapuluh lima ribu penduduknya.

Akan tetapi sekarang coba kita beralih dari situasi geo-politik dunia, dan langsung ke buku saku kita. Suatu pengecekan acak terhadap swalayan-swalayan di New York pada bulan Januari 1986 menunjukkan bahwa ‘sirloin steak’ berharga sekitar empat dolar per pon, sedangkan bahan-bahan untuk menu vegetarian yang banyak dan lezat berkisar dua dolar per pon.

Satu kaleng/kotak keju-susu dengan harga enam puluh cent menyediakan enam puluh persen kebutuhan minimum protein per hari. Dengan menjadi seorang vegetarian anda dapat berhemat setidaknya beberapa ribu dolar per tahun, puluhan ribu dolar selama masa hidup. Simpanan bagi para konsumen di Amerika dapat berjumlah milyaran dolar setiap tahunnya. Dan prinsip yang sama berlaku bagi semua konsumen di seluruh dunia. Bayangkan semua ini, tidaklah sulit bagi seseorang untuk menjadi seorang vegetarian.

Etika

Banyak orang mempertimbangkan alasan-alasan moral yang paling penting dari segalanya untuk menjadi seorang vegetarian. Awal dari vegetarianisme yang bermoral merupakan pemahaman bahwa mahluk lainnya mempunyai perasaan, dan bahwa perasaan mereka sama dengan perasaan kita. Pemahaman ini mendorong seseorang menambah kesadaran pribadi dalam meliputi penderitaan yang lainnya.

Dalam suatu artikel berjudul The Ethics of Vegetarianism, dari majalah North American Vegetarian Society, konsep “humane animal slaughter” ditentang. “banyak orang sekarang ini telah terlena dengan suatu kepuasan dalam berpikir bahwa binatang dibunuh ‘secara prikemanusiaan’, dengan demikian menghilangkan setiap keraguan untuk mengkonsumsi daging. Sayangnya, tidak ada yang melebihi kenyataan akan hidup…. dan mati.

Keseluruhan hidup dari ‘hewan konsumsi’ yang dikandangkan merupakan suatu pemeliharaan yang tidak normal, pengebirian yang kejam dan/atau stimulasi hormon, konsumsi menu yang tidak wajar untuk maksud-maksud penggemukan, dan pada akhirnya perjalanan yang panjang dalam kesulitan yang mendalam ke arah pencapaian terakhir. Pulpen-pulpen, penyodok elektrik, dan pelintiran ekor binatang, teror dan ketakutan yang menyedihkan, semua ini masih merupakan bagian dari pengembang-biakan, perdagangan dan pembunuhan hewan yang paling moderen. Untuk menerima semua ini dan menentang kebrutalan terhadap kehidupan hewan, yaitu meniadakan kata ‘humane’ (prikemanusiaan).

Fakta dari pembunuhan hewan sangatlah tidak menyenangkan – rumah-rumah jagal nampak seperti neraka. Hewan-hewan yang mengerang dibuat pingsan dengan hantaman palu, kejutan listrik, atau alat-alat pemukul. Mereka tarik keatas dengan kaki mereka dan dipindahkan dengan alat-alat pemindah otomatis. Masih dalam keadaan hidup, leher mereka disembelih dan daging mereka dipotong sementara mereka berdarah sampai mati. Mengapa pemusnahan dan penyembelihan hewan ternak tidak diatur oleh ketentuan yang sama terhadap kesejahteraan hewan-hewan piaraan dan bahwan tikus laboratorium?

Banyak orang mungkin tidak akan ragu menjadi vegetarian jika meraka mengunjungi sebuah rumah jagal, atau mereka sendiri harus membunuh hewan yang mereka konsumsi. Kunjungan seperti itu seharusnya wajig bagi semua pemakan daging.

Pythagoras, terkenal dengan kontribusinya terhadap ilmu geometrik dan matematik, mengatakan, “Oh, saudara-saudaraku, janganlah merusak tubuhmu dengan makanan-makanan yang buruk. Kita memiliki jagung, kita mempunyai buah apel yang bergelantungan dengan beratnya, dan anggur yang besar di pohonnya. Ada tumbuh-tumbuhan dengan rasa manis, dan sayur-sayuran yang dapat dimasak and direbus dengan api, juga susu atau madu yang harum. Bumi memberikan persediaan makanan alami yang berlimpah, dan memberikan kalian perjamuan yang tidak melibatkan pertumpahan darah atau pembunuhan; hanya mahluk buas yang memuaskan rasa lapar mereka dengan daging, dan tidak hanya itu, oleh karena kuda, sapi dan domba hidup dari rumput.

Dalam suatu artikel berjudul On Eating Flesh, penulis berkebangsaan Roma, Plutarch, menulis: “Dapatkah anda bertanya apa alasan Pitagoras tidak mengkonsumsi daging? Saya sendiri lebih cenderung memikirkan kejadian apa dan dalam pertimbangan apa manusia pertama menyantap daging dari mahluk yang sudah mati, mempersembahkan jamuan tubuh-tubuh yasudah mati dan kaku, dan berani menyebut sebagai makanan dan gizi dari bagian-bagian yang sebelumnya meraung dan mengerang, bergerak dan hidup……… Yang pastinya bukanlah singa atau srigala yang kita santap, namun sebaliknya, kita mengabaikan mereka dan membunuh mahluk-mahluk yang jinak dan tidak berbahaya bagi kita. Demi hanya untuk sepotong daging kita menghalangi mereka dari matahari, cahaya, keberlangsungan hidup mereka yang sudah seharusnya mereka dapatkan dengan kelahiran dan kehidupan”.

Kemudian Plutarch menyampaikan tantangan ini kepada para penyantap daging: “Jika anda menyatakan bahwa secara alami anda diharuskan menyantap makanan tersebut, maka pertama-tama bunuh sendiri makanan yang anda hendak makan. Akan tetapi lakukanlah dengan cara anda sendiri, tanpa dibantu dengan belati atau pentungan atau segala jenis kampak.”

Penulis puisi, Shelly, adalah seorang vegetarian yang loyal. Dalam artikelnya ‘A Vindication of Natural Diet’ dia menuliskan, “Biarkan pendukung makanan hewani membawa dirinya sendiri kepada suatu eksperimen yang menentukan tentang kesehatannya, dan sebagaimana disarankan Plutarch, mengoyak seekor anak domba dengan giginya, memuaskan dahaganya dengan darah yang mendidih……maka dia akan menjadi konsisten”.

Leo Tolstoy menulis bahwa dengan membunuh binatang untuk makanan, “Manusia menindas dirinya sendiri, yang tidak semestinya, posisi spirituak tertinggi – yang mana simpati dan rasa kasihan terhadap mahluk hidup seperti dirinya sendiri – dan dengan menodai perasaannya menjadikannya seorang yang kejam”. Dia juga mengingatkan, “Selama tubuh kita merupakan kuburan yang hidup dari hewan-hewan yang dibunuh, bagiamana mungkin kita mengharapkan kondisi yang baik di atas bumi ini?”

Ketika kita tidak lagi menghargai kehidupan binatang, kita juga kehilangan penghargaan terhadap kehidupan. Dua ribu enam ratus tahun yang lalu, Pitagoras mengatakan, “Mereka yang membunuh binatang untuk menyantap dagingnya cenderung membunuh diri mereka sendiri”. Kita merasa takut akan senjata musuh, bom, dan rudal, tetapi kita menutup mata terhadap penderitaan dan ketakutan yang kita sebabkan dengan membunuh, untuk santapan manusia, lebih dari 1.6 milyar mamalia piaraan dan 22.5 milyar uanggas tiap tahunnya. Jumlah ikan yang dibunuh tiap tahunnya berjumlah trilyunan. Dan berbicara tentang puluhan juta binatang dibunuh tiap tahunnya di “kamp-kamp penyiksaan” dari laboratorium-laboratorium riset medis, atau yang dibunuh untuk bulu atau kulit mereka atau yang diburu untuk “sport”. Dapatkah kita menyangkal bahwa kebrutalan ini juga membuat kita lebih brutal?

Leonardo Da Vinci menuliskan, “Sungguh manusia adalah raja dari mahluk buas, oleh karena kebrutalannya melebihi dari mereka. Kita hidup di atas kematian yang lainnya. Kita adalah tempat kuburan!”. Dia menambahkan, “Saatnya akan tiba dimana manusia akan menilai pembunuhan atas binatang sama dengan pembunuhan terhadap manusia”.

Mahatma Gandhi merasa bahwa prinsip-prinsip moral merupakan pendukung yang lebih kuat untuk suatu komitmen yang permanen terhadap menu vegetraian dibandingkan dengan alasn-alasan kesehatan. “ Saya benar-benar percaya bahwa peningkatan spiritual pada tahap tertentu menuntut kita untuk berhenti membunuh mahluk lainnya demi memuaskan keiniginan-keiniginan tubuh kita”. Dia juga mengatakan, “Kejayaan suatu bangsa dan peningkatan moralitasnya dapat nilai dari perlakuannya terhadap binatang”.

Agama

Semua naskah agama besar memerintahkan manusia untuk hidup tanpa harus membunuh. Kita Suci Perjanjian Lama memberi perintah, “Jangan membunuh”. (Kitab Keluaran 20:13). Ini biasanya diinterpretasikan sebagai pembunuhan. Akan tetapi bahasa Ibrani aslinya yakni ‘lo tirtzach’, yang dengan jelas berarti “Jangan membunuh”. Kamus Lengkap Bahasa Ibrani/Inggris Dr. Reuben Alcalay mengatakan bahwa kata ‘tirtzach’, khususnya dalam pemakaian Bahasa Ibrani yang klasik, mengacu kepada “segala bentuk pembunuhan”, dan tidak harus pembunuhan seorang manusia.

Meskipun Kitab Suci Perjanjian Lama mengandung resep makan, jelas bahwa kondisi yang cocok adalah vegetarisme. Dalam Kitab Kejadian (1:29), “Lihatlah, Aku telah memberikan kepadamu tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji, itulah akan menjadi makananmu”. Dan dalam buku-buku Kitab Suci selanjutnya, para nabi besar melarang penyantapan daging.

Bagi kebanyakan orang Kristen, penghalang utama yakni kepercayaan bahwa Yesus Kristus menyantap daging dan banyaknya acuan sehubungan dengan penyantapan daging dalam Kitab Perjanjian Baru. Akan tetapi penelitian yang teliti terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani menunjukkan bahwa pada umumnya kata-kata yang diterjemahkan sebagai “daging” yaitu ‘thrope’, ‘brome’, dan kata lainnya yang bermakna “makanan” atau “memakan” dalam arti luas. Contohnya, Injil Lukas (8:55) tertulis bahwa Yesus membangkitkan seorang wanita dari kematiannya dan “memerintah memberikannya makanan”. Kata berbahasa Yunani asli yang artikan “daging” yaitu ‘phago’, yang secara khusus berarti “memakan”. Kata berbahasa Yunani untuk daging yaitu ‘kreas’ (‘flesh’), dan kata ini tidak pernah digunakan sehubungan dengan Yesus Kristus. Tidak ada dimanapun dalam Kitab Perjanjian Baru mengacu secara langsung dalam halnya Yesus Kristus menyantap daging. Ini sesuai dengan nubuat nabi Yesaya yang terkenal tentang kedatangan Yesus Kristus, “Sesungguhnya, seorang perawan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel. Ia akan makan dadih dan madu sampai ia tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik”.

Dalam ‘Thus Spake Muhammed (terjemahan Hadith oleh Dr. M. Hafiz Syed), pengikut nabi Muhammad bertanya kepadanya, “Sesungguhnya, apakah ada imbalan untuk melakukan hal baik kepada hewan, dan memberikan mereka minum?”. Muhammad menjawab, “Ada imbalan dalam menolong hewan”.

Sang Budha secara khusus terkenal dengan ajarannya menentang pembunuhan binatang. Dia menetapkan ahimsa (anti-kekerasan) dan vegetarianisme sebagai langkah awal menuju kesadaran pribadi dan mengekspresikan kedua ungkapan berikut ini, “Janganlah menyembelih lembu yang membajak ladang kalian sendiri,” dan “Janganlah biarkan kerakusan yang melibatkan pembunuhan binatang”25.

Kitab Weda dari India, yang mendahalui jaman Budha, juga menekankan anti-kekerasaan sebagai dasar moral vegetarianisme. “Tidak ada daging yang diperoleh tanpa menyakiti mahluk hidup”, kata Manu-samshita, hukum India kuno, “Oleh karena itu biarkan seseorang menjauhkan diri dari pemakaian daging”. Pada bagian yang lain, Manu-samshita memperingatkan, “Setelah dengan baik mempertimbangkan sumber daging yang memuakkan dan kekejaman dalam membelenggu dan membantai mahluk hidup, biarkan seseorang berpantang menyantap daging secara total”. Dalam Mahabrata (puisi epik yang mengandung 100,000 sanjak dan dikatakan puisi terpanjang di dunia), terdapat banyak larangan terhadap pembunuhan binatang: “Mereka yang berhasrat menambah daging mereka dengan menyantap daging mahluk lainnya dalam kesengsaraan spesis manapun dapat membunuh dirinya sendiri”; “Adakah yang lebih kejam dan egois dari seseorang yang menambah dagingnya sendiri dengan menyantap daging hewan yang tidak berdosa?”; dan “Mereka yang berhasrat memiliki daya ingat yang baik, kecantikan, umur panjang dengan kesehatan yang sempurna, kekuatan fisik, moral dan spiritual, harus berpantang memakan daging binatang”.

Setiap mahluk memiliki jiwa. Dalam Bagawat-gita, Khrisna menggambarkan jiwa sebagai sumber kesadaran dan sumber hidup yang mengaktifkan tubuh setiap mahluk hidup. Menurut Kitab Suci Weda, suatu jiwa dalam bentuk yang lebih rendah dari manusia secara otomatis berkembang ke arah spesis berikutanya yang lebih tinggi, yang pada akhirnya mencapai bentuk manusia. Hanya dalam bentuk kehidupan manusia, jiwa tersebut dapat memusatkan kesadarannya kepada Tuhan dan pada saat kematiannya dipindahkan kembali ke dunia spiritual. Baik dalam tingkatan sosial maupun universal, setiap manusia harus mematuhi hukum.

Dalam makna Srimad-Bhagavatamnya, Srila Prabhupada mengatakan, “Semua mahluk hidup harus memenuhi suatu masa waktu yang terikat dalam suatu bentuk jasad tertentu. Mereka harus menyelesaikan masa waktu tersebut yang ditentukan suatu jasad tertentu sebelum dipromosikan atau ditingkatkan ke jasad lainnya. Membunuh binatang atau mahluk hidup lainnya sesungguhnya hanya menghalangi penyelesaian masa waktunya dalam jasad tersebut.

Dengan demikian seseorang tidak seharusnya membunuh mahluk hidup lainnya demi kesenangannya, oleh karena hanya akan melibatkan seseorang dalam perbuatan dosa. “Singkatnya, membunuh binatang mengahalangi perkembangan melalui spesis-spesis, dan pembunuh tersebut selalu mengalami penderitaan atas perbuatan dosanya tersebut.

Dalam Bagawat-gita (5.8), Khrisna menjelaskan bahwa kesempurnaan spiritual mulai ketika seseorang dapat melihat kesamaan semua mahluk hidup, “Orang bijaksana yang rendah diri, dengan pengetahuan yang murni, melihat dengan pandangan yang sama seorang brahmana (pendeta) yang terpelajar, seekor lembu, seekor gajah, seekor anjing, dan ‘dog-eater(tidak berkasta)”. Khrisna juga memerintahkan kita untuk menerapkan prinsip-prinsip vegetarianisme yang spiritual ketika Dia berkata, “Berikan saya cinta dan devosi dengan buah, bunga, daun, air, maka saya akan menerimanya”.

Karma

Kata karma yang berasal dari Sanskerta berarti “tindakan”, atau lebih khususnya setiap tindakan fisik yang menyebabkan reaksi yang mengikat kita dengan dunia nyata. Meskipun konsep karma umumnya berkaitan dengan filosofi Timur, banyak orang di negara Barat mulai memahami bahwa karma adalah prinsip dasar, sama seperti waktu dan gravitasi, dan juga bersifat takdir. Untuk setiap tindakan pasti ada reaksi. Menurut hukum karma, jika kita menyebabkan rasa sakit dan penderitaan kepada mahluk hidup lainnya, kita harus juga mengalami rasa sakit dan penderitaan, baik secara individu maupun kolektif. Kita menuai apa yang kita tabur, pada kehidupan sekarang dan yang akan datang, karena alam memepunyai keadilannya sendiri. Tidak seorangpun dapat bebas dari karma, kecuali mereka yang mengetahui caranya.

Untuk mengerti bagaimana karma dapat menyebabkan perang, sebagai contoh kita ambil sebuah ilusrtasi dari Kitab Weda. Kadangkala suatu kebakaran berasal dari hutan bambu ketika pohon-pohonya saling bergesekan. Bagaimanapun juga penyebab yang sebenarnya bukanlah pohon-pohon tersebut akan tetapi angin yang menggerakkan mereka. Pohon-pohon tersebut hanya merupakan alat. Sama halnya dengan prinsip karma yang menyatakan kepada kita bahwa Amerika Serikat dan ni Soviet bukanlah penyebab utama ketegangan antara mereka, ketegangan yang memulai perang nuklir. Penyebab utamanya adalah karma yang sulit diramalkan disebabkan oleh penduduk dunia yang nampaknya tidak berdosa.

Menurut hukum karma, supermarket atau tempat penjualan hamburger di sekitar kita (juga termasuk klinik aborsi setempat, akan tetapi dalam konteks yang lain) lebih banyak kaitannya dengan ancaman perang nuklir dari pada Gedung Putih atau Kremlin. Kita ketakutan dengan kemungkinan perang nuklir sementara kita membiarkan pembantaian yang sama menakutkan setiap harinya di dalam tempat penjagalan hewan di seluruh dunia.

Orang yang menyantap daging hewan mungkin mengatakan bahwa dia tidak melakukan pembunuhan apapun, tetapi ketika dia membeli daging yang sudah dipaketkan maka dia membayar orang lain untuk membunuh, dan keduanya menyebabkan reaksi karma atas diri mereka sendiri. Bukankah bersifat munafik memperjuangkan perdamaian kemudian pergi ke MacDonald untuk menyantap hamburger atau pulang untuk memanggang daging? Ini merupakan suatu kepura-puraan yang mana ditentang oleh George Bernard Shaw:

Kita berdoa pada setiap hari Minggu supaya kita mendapat penerangan

Yang menuntun lanngkah kita di jalan yang kita lalui;

Kita muak akan peperangan, kita tidak ingin berperang,

Namun kita sendiri menyantap yang sudah mati

Sebagaimana dikatakan oleh Srila Prabhupada dalam penjelasannya tentang Bagawat-gita, “Mereka yang membunuh binatang dan menyebabkna mereka menderita – sebagaimana yang dilakukan orang-orang di rumah penjagalan – akan dibunuh dengan cara yang sama pada kehidupan berikutnya dan pada banyak kehidupan yang akan datang…………. Dalam naskah-naskah Kristen-Yahudi, dengan tegas dikatakan “Jangan membunuh”. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, bahkan para pemimpin agama membiarkan pembunuhan binatang dan, pada saat yang sama, mencoba menjadi seorang yang kudus. Contoh yang tidak layak ini dan kepura-puraan dalam masyarakat menyebabkan bencana yang tidak ada habisnya seperti perang-perang besar, dimana kelompok besar orang pergi berperang dan saling membunuh. Sekarang ini mereka menghadapi bom atom, yang menunggu dipergunakan untuk perusakan yang sangat luas”. Ini merupakan akibat dari karma.

Mereka yang mengerti hukum karma, menyadari bahwa perdamaian tidak akan datang dari parade militer dan permohonan-permohonan, tetapi lebih baik membuat suatu kampanye untuk mengajari orang tentang konsekuensi-konskuensi dari pembunuhan binatang (dan bayi-bayi yang digugurkan). Akan memakan waktu yang lama untuk mencegah meningkatnya permasalahan dunia, oleh karena itu kita membutuhkan orang-orang dengan kesadaran yang murni untuk memahami bahwa permasalahan yang sebenarnya bersifat spiritual. Orang-orang yang berdosa akan selalu ada, tetapi mereka seharusnya tidak menempati posisi-posisi kepemimpinan.

Salah satu dari keberatan umum dari orang kaum non-vegetarian terhadap kaum vegeratarian yaitu bahwa kaum vegeratian tetap saja harus membunuh tumbuhan, dan itu juga merupakan suatu pelanggaraan. Jawabannya mungkin dapat ditekankan bahwa makanan-makanan vegetarian seperti buah-buah yang sudah masak dan sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi-padian, dan susu tidak mengharuskan pembunuhan. Bahkan dalam kasus dimana kehidupan suatu tumbuhan di ambil, oleh karena tumbuhan memiliki kesadaran berkembang yang lebih sedikit dibandingkan dengan binatang, kita dapat menyimpulkan bahwa penderitaannya jauh lebih sedikit dibandingkan bilamana seekor binatang dibunuh, mengenai penderitaan yang dialami oleh hewan potong selama hidupnya.

Memang benar bahwa kaum vegetarian harus membunuh tumbuhan, dan itu merupakan pelnggraan, akan tetapi kita harus makan, dan Kitab Weda mengatakan, ‘jivo jivasya jivanam’: suatu mahluk hidup adalah makanan untuk yang lainnya untuk mempertahankan hidupnya. Jadi permasalahannya bukannya bagaimana menghindari pembunuhan secara keseluruhan – suatu rekomendasi yang mustahil – tetapi bagaimana menghentikan penderitaan terhadap mahluk hidup lainnya yang pada saat yang sama mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh.

Penghilangan nyawa, bahkan terhadap tumbuhan, tentu saja dosa, tetapi Khrisna, sang pengatur tertinggi, membebaskan kita dari dosa dengan menerima apa yang kita persembahkan. Memakan makanan yang awalnya dipersembahkan kepada Tuhan sama halnya seperti seorang prajurit yang gugur dalam peperangan. Dalam suatu peperangan, ketika pemimpin pasukan memberi perintah untuk menyerang, seorang prajurit yang patuh yang membunuh musuhnya akan mendapatkan penghargaan. Tetapi jika prajurit yang sama membunuh sesama prajuritnya, dia akan dihukum. Ini ditegaskan dalam Bagawat-gita (3.13) “Pengabdi Tuhan dibebaskan dari semua dosa karena mereka memakan makanan yang terlebih dahulu dipersembahkan untuk korban. Yang lainnya, yang menyiapkan makanan untuk kesenangan pribadi, hanya memakan dosa”. Hal ini membawa kita kepada tema inti dari buku ini: vegetarianisme, meskipun esensinya bukanlah suatu akhir padanya.

Di luar Vegetarian

Terlepas dari masalah kesehatan, ekonomi, etika, agama, dan bahkan karma, vegetarianisme memiliki dimensi spiritual yang lebih tinggi yang dapat menolong kita mengembangkan apresiasi alami kita kasih sayang dari Tuhan. Srila Prabhupada mengatakan kepada kita dalam penjelasan Srimad-Bhagavatamnya, “Manusia dirancang untuk memahami diri sendiri, dan oleh karena itu mereka tidak seharusnya makan makanan yang tidak dipersembahkan kepada Tuhan. Tuhan menerima semua jenis persembahan makanan dari sayur-sayuran, buah-buahan, produk susu, dan padi-padian dari para pengabdiNya. Bermacam-macam sayuran, buah-buahan, dan produk susu, dan padia-padian dapat dipersembahkan kepada Tuhan, dan setelah Tuhan menerima persembahan makanan itu, para pengabdi dapat mengambil bagian dalam ‘prasada’, yang mana semua pendertiaan dalam mempertahankan hidup akan dihilangkan”.

Sang Khrisna Sendiri menegaskan keabadian ‘prasada’ ketika Dia tampil ke dunia ini sebagai Sri Chaitanya Mahaprabhu 500 tahun yang lalu: “Setiap orang yang sebelumnya telah merasakan bahan materialistik tersebut, akan tetapi sekarang, bahan yang sama ini mengandung rasa dan harum yang yang luar biasa. Rasakanlah dan lihatlah perbedaannya. Tidak hanya rasanya, harumnya mendamaikan pikiran kita dan bahwa bahan-bahan yang biasa ini telah dicicipi oleh bibir Sang Krhisna dan diilhami oleh karakter Sang Khrisna”.

Makanan persembahan, umumya disebut ‘prasada’, “kemurahan Tuhan”, menawarkan tidak hanya hidup yang sehat, tapi juga pemahaman akan Tuhan; bukan hanya sekedar makanan bagi orang banyak yang lapar, akan tetapi makanan rohani bagi setiap orang. Ketika Khrisna menerima suatu persembahan, Dia memasukkan karakter keabadianNya sendiri ke dalamnya. Dengan demikian ‘Prasada’ identik dengan Sang Khrisna Sendiri. Terlepas dari kemurahannya yang tidak berbatas terhadap jiwa-jiwa yang terkurung dalam dunia nyata, Khrisna hadir dalam bentuk ‘prasada’, sehingga dengan hanya memakannya, kita dapat mengenalNya.

Mengkonsumsi prasada berarti memberi makanan rohani kepada tubuh. Dengan menyantap prasada tidak hanya dosa masa lalu yang ada dalam tubuh yang dihancurkan, tapi tubuh juga kebal terhadap kontaminasi materialisme. Sama halnya seperti vaksin antiseptik yang dapat melindungi kita terhadap penyakit menular, menyantap ‘prasada’ melindungi kita dari ilusi dan pengaruh konsep hidup yang materialistik. Oleh karena itu seseorang yang menyantap makanan yang dipersembahkan kepada Khrisna, dapat menghadapi semua akibat dari kegiatan dunianya pada masa lalu, dan siap dan siap mengalami peningkatan dalam pemahaman pribadi.

Oleh karena Sang Khrisna membebaskan kita dari akibat-akibat karma, atau aktifitas duniawi, dengan mudah kita dapat melewati ilusi dan melayani Nya dalam pengabdian. Seseorang yang bertindak tanpa karma dapat menyatukan pemahaman dengan Tuhan dan selalu waspada akan kehadiran kepribadianNya. Inilah manfaat yang sebenarnya dari ‘prasada’.

Seseorang yang menyantap ‘prasada’ sebetulnya sedang memberikan pengabdiannya kepada Tuhan dan pasti mendapatkan karunianya. Srila Prabhupada sering mengatakan bahwa dengan menyantap ‘prasada’ walaupun cuma sekali kita dapat terlepas dari siklus kelahiran dan kematian, dan hanya dengan menyantap ‘prasada’ seorang yang paling berdosapun dapat menjadi suci. Naskah-naskah Weda berbicara tentang banyak orang yang hidupnya dirubah dengan menyantap ‘prasada’, dan setiap pengabdi Hare Khrisna akan menjamin kekuatan spiritual ‘prasada’ dan efeknya terhadap kehidupannya.

Menyantap makanan yang hanya dipersembahkan kepada Krishna adalah penyelesaian akhir dari menu vegetarian. Meskipun demikian, burung merpati dan kera juga vegetarian, dengan demikian menjadi seorang vegetarian bukanlah yang terutama dari pencapaian. Kitab Weda menyampaikan kepada kita bahwa tujuan dari kehidupan manusia yaitu untuk membangkitkan kembali jiwa dalam hubungannya dengan Tuhan, dan hanya bilamana kita melampaui vegetarianisme ke tingkat ‘prasada’ maka apa yang kita makan akan sangat membantu dalam mencapai tujuan tersebut. *

Carnivora

Herbivora

Manusia

1

Berkuku tajam untuk mencakar.

Tidak mencakar.

Tidak mencakar.

2

Kulit tidak berpori, keringat melalui lidah.

Berkeringat melalui pori kulit.

Berkeringat melalui pori kulit.

3

Gigi depan tajam, untuk merobek daging.

Gigi depan tidak tajam.

Gigi depan tidak tajam.

4

Kelenjar liur di mulut kecil, tidak dibutuhkan untuk mencerna makanan pendahuluan.

Kelenjar ludah berkembang sempurna.

Kelenjar ludah berkembang sempurna.

5

Liur bersifat asam, tidak ada enzim ptyalin.

Air liur bersifat alkali, banyak enzim ptyalin.

Air liur bersifat alkali, banyak enzim ptyalin.

6

Tidak bergigi geraham

Bergigi geraham

Bergigi geraham

7

Asam klorida (HCl) lambung keras, banyak.

Asam lambung 1/20 kali dari pemakan daging.

Asam lambung 1/20 kali dari pemakan daging.

8

Panjang usus 3 x panjang badan, makanan cepat keluar.

Panjang usus 10-12 X panjang badan.

Panjang usus 10-12 X panjang badan.

9

Lidah panjang menjulur.

Lidahnya pendek

Lidahnya pendek

10

Minum air dengan menjilatkan lidahnya.

Minum dengan mengisap.

Minum dengan mengisap.

11

Gerakan rahang, nauk- turun.

Gerakan rahang bisa naik-turun dan kesamping.

Gerakan rahang bisa naik-turun dan kesamping.

No comments:

Blog Archive